Mata Dunia Lain -
Masa kerja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden Republik Indonesia akan berakhir sekitar satu tahun lagi. SBY yang sudah dua periode menjadi presiden RI terhitung sejak 2004, akan meletakkan jabatannya.
Menjelang lengsernya SBY dari kursi orang nomor satu di negeri ini, beragam penilaian dan evaluasi mulai bermunculan. Salah satu yang menjadi sorotan dari kinerja SBY selama dua periode adalah persoalan ketergantungan terhadap utang atau pinjaman baik dalam maupun luar negeri untuk membiayai belanja negara.
Meski pada pemerintahan SBY, Indonesia sudah melunasi USD 3,18 miliar yang merupakan sisa utang pada dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada 2006 lalu, hal ini tidak serta merta meredam kritikan terhadap utang pemerintah.
Berbagai lembaga swadaya masih melihat tingkat ketergantungan pemerintah pada utang cukup besar. Bahkan ada yang menyebut pemerintah sengaja menjerumuskan diri dalam jerat utang.
Salah satunya, Koalisi Anti Utang (KAU) menyoroti sikap pemerintahan SBY lantaran tidak pernah terbuka mengumumkan besaran utang dalam dan luar negeri ke publik. Dari pengamatan lembaga swadaya ini, besaran utang negara hingga Mei 2013 mencapai Rp 2.023,7 triliun.
Ketua KAU Dani Setiawan menyatakan, sejak SBY berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun. Peningkatan ini signifikan lantaran pada 2004, utang pemerintah baru sebesar Rp 1,299 triliun.
"Rata-rata setiap warga Indonesia menanggung utang sekitar Rp 8,5 juta," kata Dani dalam diskusi kemandirian bangsa di Tebet, Jakarta, Minggu (7/7).
Meski Direktorat Jenderal Pengelolaan utang Kementerian Keuangan bulan lalu melansir data yang menenangkan publik bahwa pengendalian utang sudah terkontrol hingga 2033, KAU menemukan fakta berbeda.
Pemerintah sendiri menanggapi santai utang Indonesia yang menembus angka Rp 2.000 triliun. Pemerintah tidak memperhatikan soal nominal utang yang menjadi beban negara, namun lebih memperhatikan rasio utang terhadap GDP.
"Saya ingin ceritakan pada kawan-kawan. Yang penting dijaga adalah utang terhadap GDP. Orang anggap angka yang aman itu 60 persen. Kita hanya 24 persen," ujar Plt Menteri Keuangan yang juga Menko Perekonomian Hatta Rajasa di kantornya, beberapa waktu lalu.
Dia ingin memberi gambaran bahwa utang bukan suatu yang harus dihindari. Yang terpenting, kata dia, utang yang dipinjam harus bisa dibayar.
Menurut KAU, pernyataan Hatta seolah ingin memberi gambaran bahwa pemerintah tidak terlalu bermasalah dengan utang. Tapi, bagi rakyat yang selalu membayar pajak untuk kebutuhan pembangunan, selalu gerah dengan kebiasaan utang yang dilakukan pemerintah. Sebab, setiap tahun pemerintah diwajibkan menyediakan uang untuk mencicil bunga utang. Uang negara yang dialokasikan untuk mencicil bunga utang, jumlahnya cukup besar.
Kondisi-kondisi itu membuat kritik terhadap kebiasaan pemerintah melakukan pinjaman atau utang tak pernah berhenti. Berikut lima kritik soal utang pada masa kepemimpinan SBY yang dirangkum merdeka dari sebuah diskusi bertajuk 'Kebijakan Pro Asing + Utang = Negara Bangkrut':
Menjelang lengsernya SBY dari kursi orang nomor satu di negeri ini, beragam penilaian dan evaluasi mulai bermunculan. Salah satu yang menjadi sorotan dari kinerja SBY selama dua periode adalah persoalan ketergantungan terhadap utang atau pinjaman baik dalam maupun luar negeri untuk membiayai belanja negara.
Meski pada pemerintahan SBY, Indonesia sudah melunasi USD 3,18 miliar yang merupakan sisa utang pada dana moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) pada 2006 lalu, hal ini tidak serta merta meredam kritikan terhadap utang pemerintah.
Berbagai lembaga swadaya masih melihat tingkat ketergantungan pemerintah pada utang cukup besar. Bahkan ada yang menyebut pemerintah sengaja menjerumuskan diri dalam jerat utang.
Salah satunya, Koalisi Anti Utang (KAU) menyoroti sikap pemerintahan SBY lantaran tidak pernah terbuka mengumumkan besaran utang dalam dan luar negeri ke publik. Dari pengamatan lembaga swadaya ini, besaran utang negara hingga Mei 2013 mencapai Rp 2.023,7 triliun.
Ketua KAU Dani Setiawan menyatakan, sejak SBY berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun. Peningkatan ini signifikan lantaran pada 2004, utang pemerintah baru sebesar Rp 1,299 triliun.
"Rata-rata setiap warga Indonesia menanggung utang sekitar Rp 8,5 juta," kata Dani dalam diskusi kemandirian bangsa di Tebet, Jakarta, Minggu (7/7).
Meski Direktorat Jenderal Pengelolaan utang Kementerian Keuangan bulan lalu melansir data yang menenangkan publik bahwa pengendalian utang sudah terkontrol hingga 2033, KAU menemukan fakta berbeda.
Pemerintah sendiri menanggapi santai utang Indonesia yang menembus angka Rp 2.000 triliun. Pemerintah tidak memperhatikan soal nominal utang yang menjadi beban negara, namun lebih memperhatikan rasio utang terhadap GDP.
"Saya ingin ceritakan pada kawan-kawan. Yang penting dijaga adalah utang terhadap GDP. Orang anggap angka yang aman itu 60 persen. Kita hanya 24 persen," ujar Plt Menteri Keuangan yang juga Menko Perekonomian Hatta Rajasa di kantornya, beberapa waktu lalu.
Dia ingin memberi gambaran bahwa utang bukan suatu yang harus dihindari. Yang terpenting, kata dia, utang yang dipinjam harus bisa dibayar.
Menurut KAU, pernyataan Hatta seolah ingin memberi gambaran bahwa pemerintah tidak terlalu bermasalah dengan utang. Tapi, bagi rakyat yang selalu membayar pajak untuk kebutuhan pembangunan, selalu gerah dengan kebiasaan utang yang dilakukan pemerintah. Sebab, setiap tahun pemerintah diwajibkan menyediakan uang untuk mencicil bunga utang. Uang negara yang dialokasikan untuk mencicil bunga utang, jumlahnya cukup besar.
Kondisi-kondisi itu membuat kritik terhadap kebiasaan pemerintah melakukan pinjaman atau utang tak pernah berhenti. Berikut lima kritik soal utang pada masa kepemimpinan SBY yang dirangkum merdeka dari sebuah diskusi bertajuk 'Kebijakan Pro Asing + Utang = Negara Bangkrut':
1. APBN dibuat defisit agar bisa utang
[lihat.co.id] - Dari penelitian Lembaga swadaya Indonesia Budget Center (IBC), pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlalu tergantung pada pinjaman atau utang. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Postur anggaran negara yang seolah selalu dibuat defisit agar bisa ditutupi dari pinjaman. Kondisi ini seolah menggambarkan rendahnya komitmen pemerintah mengurangi utang. Padahal, sebetulnya peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak dapat mengurangi ketergantungan utang dalam dan luar negeri.
Peneliti IBC Apung Widadi menilai tidak ada tanda-tanda negara mempunyai itikad untuk terlepas dari jerat utang.
"Misalnya dari perubahan APBN-P kemarin, yang lebih banyak dibahas alokasi makro, tapi sektor pendapatan tidak ada dorongan untuk ditingkatkan, sehingga akhirnya kita kembali berutang," ujar Apung.
Postur anggaran negara yang seolah selalu dibuat defisit agar bisa ditutupi dari pinjaman. Kondisi ini seolah menggambarkan rendahnya komitmen pemerintah mengurangi utang. Padahal, sebetulnya peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak dapat mengurangi ketergantungan utang dalam dan luar negeri.
Peneliti IBC Apung Widadi menilai tidak ada tanda-tanda negara mempunyai itikad untuk terlepas dari jerat utang.
"Misalnya dari perubahan APBN-P kemarin, yang lebih banyak dibahas alokasi makro, tapi sektor pendapatan tidak ada dorongan untuk ditingkatkan, sehingga akhirnya kita kembali berutang," ujar Apung.
2. Cicilan bunga utang setara belanja negara
[lihat.co.id] - Besaran utang luar dan besarnya beban negara untuk mencicil beban pokok utang dan bunganya mendapat sorotan. KAU mencatat, pengeluaran pemerintah sejak 2005-2012, untuk membayar beban cicilan pokok dan bunga utang sebesar Rp 1.584 triliun.
Nilai tersebut mendekati total anggaran APBN tahun ini. Alhasil, wajar bila akhirnya anggaran belanja publik tergerus untuk mencicil utang.
"Padahal dalam konteks membayar bunga cicilan utang saja kita sudah kewalahan. Ini belum memasukkan data 2013, di mana pembayaran pokok bunga utang mencapai Rp 229 triliun, kalau kita tambahkan, sudah mencapai Rp 1.800 triliun, sehingga secara finansial, suka tidak suka, utang luar negeri menggerus anggaran negara dan mengurangi belanja sektor publik," kata Apung.
Konsekuensi lainnya, besaran utang ini akan menggerus kemandirian ekonomi lebih besar. Sebab, nilai tukar rupiah kini sedang melemah dibanding dolar Amerika. "Maka besaran cicilan kita akan lebih besar, sebab cicilan beban pokok utang kita dalam mata uang asing," tegas Dani.
Nilai tersebut mendekati total anggaran APBN tahun ini. Alhasil, wajar bila akhirnya anggaran belanja publik tergerus untuk mencicil utang.
"Padahal dalam konteks membayar bunga cicilan utang saja kita sudah kewalahan. Ini belum memasukkan data 2013, di mana pembayaran pokok bunga utang mencapai Rp 229 triliun, kalau kita tambahkan, sudah mencapai Rp 1.800 triliun, sehingga secara finansial, suka tidak suka, utang luar negeri menggerus anggaran negara dan mengurangi belanja sektor publik," kata Apung.
Konsekuensi lainnya, besaran utang ini akan menggerus kemandirian ekonomi lebih besar. Sebab, nilai tukar rupiah kini sedang melemah dibanding dolar Amerika. "Maka besaran cicilan kita akan lebih besar, sebab cicilan beban pokok utang kita dalam mata uang asing," tegas Dani.
3. Penggunaan utang tak jelas
[lihat.co.id] - Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Apung Widadi, yang lebih patut disorot adalah realisasi penggunaan utang itu. Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melansir pernyataan ada potensi penggelembungan (mark up) utang tanpa ada audit yang jelas.
"Yang lebih penting dari utang yang besar ini adalah akuntabilitas penggunaannya. Ketua BPK Hadi Purnomo pernah menyatakan ada potensi mark up utang, tapi sampai sekarang, auditnya itu-itu saja," paparnya.
Saat ini, audit pemanfaatan utang pemerintah hanya fokus pada persoalan administratif. Semisal Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan prosedur utang sudah benar atau tidak. Bagi Apung, sudah saatnya BPK menggandeng KPK, memperdalam pemeriksaan utang itu.
"Sekarang perlu item auditnya diperluas, utang itu produktif tidak sih, atau pengelolaan kebocorannya berapa," kata Apung.
"Yang lebih penting dari utang yang besar ini adalah akuntabilitas penggunaannya. Ketua BPK Hadi Purnomo pernah menyatakan ada potensi mark up utang, tapi sampai sekarang, auditnya itu-itu saja," paparnya.
Saat ini, audit pemanfaatan utang pemerintah hanya fokus pada persoalan administratif. Semisal Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan prosedur utang sudah benar atau tidak. Bagi Apung, sudah saatnya BPK menggandeng KPK, memperdalam pemeriksaan utang itu.
"Sekarang perlu item auditnya diperluas, utang itu produktif tidak sih, atau pengelolaan kebocorannya berapa," kata Apung.
4. Karena utang, UU jadi pro asing
[lihat.co.id] - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyoroti dampak lain dari ketergantungan terhadap utang. Hobi pemerintah mencari utang, khususnya dari luar negeri atau lembaga asing berdampak pada tergerusnya kedaulatan negara.
Buktinya, semakin banyak undang-undang (UU) baru dengan semangat liberalisasi sektor-sektor strategis yang kajiannya dibiayai utang luar negeri.
"Hampir 70 persen UU kita bernapaskan liberalisasi, membuat perusahaan asing lebih berjaya dibanding warga negaranya sendiri," kata Ray.
Dia mencontohkan beberapa UU yang disponsori Bank Dunia. Semisal UU Sumber Daya Air Nomor 7/2004, UU Energi Nomor 30 Tahun 2007, UU Penanaman Modal No.25/2007, UU BUMN Nomor 19/2003, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Nomor 27/2007.
Dalam beleid-beleid tersebut, investor luar negeri diberi kesempatan untuk menanamkan modal. Bahkan beberapa sektor pengelolaan sumber daya alam, kepemilikan swasta tanpa menilik kewarganegaraan difasilitasi menjadi 95 persen.
Ditambah lagi, UU pengelolaan SDA, baik migas, perkebunan, dan kelautan, kini membuka diri pada asing. Alhasil, pemerintah kesulitan meningkatkan pendapatan negara. Apalagi menggenjot pengeluaran publik yang pro masyarakat miskin.
"Jangan heran pemerintah tidak mampu meningkatkan pendapatan, semua dikuasai asing. Setiap tahun 30 persen dari anggaran, komposisinya pembayaran utang pokok dan bunga, pembiayaan publik akan terkurangi banyak," kata Dani.
Buktinya, semakin banyak undang-undang (UU) baru dengan semangat liberalisasi sektor-sektor strategis yang kajiannya dibiayai utang luar negeri.
"Hampir 70 persen UU kita bernapaskan liberalisasi, membuat perusahaan asing lebih berjaya dibanding warga negaranya sendiri," kata Ray.
Dia mencontohkan beberapa UU yang disponsori Bank Dunia. Semisal UU Sumber Daya Air Nomor 7/2004, UU Energi Nomor 30 Tahun 2007, UU Penanaman Modal No.25/2007, UU BUMN Nomor 19/2003, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Nomor 27/2007.
Dalam beleid-beleid tersebut, investor luar negeri diberi kesempatan untuk menanamkan modal. Bahkan beberapa sektor pengelolaan sumber daya alam, kepemilikan swasta tanpa menilik kewarganegaraan difasilitasi menjadi 95 persen.
Ditambah lagi, UU pengelolaan SDA, baik migas, perkebunan, dan kelautan, kini membuka diri pada asing. Alhasil, pemerintah kesulitan meningkatkan pendapatan negara. Apalagi menggenjot pengeluaran publik yang pro masyarakat miskin.
"Jangan heran pemerintah tidak mampu meningkatkan pendapatan, semua dikuasai asing. Setiap tahun 30 persen dari anggaran, komposisinya pembayaran utang pokok dan bunga, pembiayaan publik akan terkurangi banyak," kata Dani.
5. Utang lebih besar dari anggaran kemiskinan
[lihat.co.id] - Ketua KAU Dani Setiawan menyatakan, sejak SBY berkuasa pada 2004, peningkatan utang luar negeri pemerintah mencapai Rp 724,22 triliun. Peningkatan ini signifikan lantaran pada 2004, utang pemerintah baru sebesar Rp 1,299 triliun.
Penambahan utang luar negeri selama era SBY , menggerus anggaran negara dan mengurangi belanja sektor publik. Buktinya anggaran kemiskinan, imbuh Dani, saat 2005 ketika SBY baru setahun berkuasa, sebesar Rp 23 triliun. Pada 2013, akumulasi kenaikannya hanya Rp 115 triliun.
"Kalau kita bandingkan, peningkatan utang di era SBY Rp 724 triliun, sementara akumulasi anggaran kemiskinan hanya Rp 115 triliun, ini jelas ada ketimpangan akibat utang kita," kata Dani.
Penambahan utang luar negeri selama era SBY , menggerus anggaran negara dan mengurangi belanja sektor publik. Buktinya anggaran kemiskinan, imbuh Dani, saat 2005 ketika SBY baru setahun berkuasa, sebesar Rp 23 triliun. Pada 2013, akumulasi kenaikannya hanya Rp 115 triliun.
"Kalau kita bandingkan, peningkatan utang di era SBY Rp 724 triliun, sementara akumulasi anggaran kemiskinan hanya Rp 115 triliun, ini jelas ada ketimpangan akibat utang kita," kata Dani.
BANDAR Q | DOMINO 99 | ADU Q | BANDAR POKER | POKER | CAPSA SUSUN | SAKONG
GABUNG SEKARANG